Jawaban
Essay PKn
Jawaban di bawah ini masih dalam
bentuk lengkap (belum ringkas). Saya buat seperti ini supaya jawaban tidak
terlalu mirip nantinya satu sama lain. Tapi jawaban ada pada tiap nomornya.
Semoga Bermanfaat ^-^.
.
.
.
.
.
.
.
1.
Makna Sosialisasi Kesadaran Politik
Sosialisasi politik merupakan konsep
yang diperkenalkan oleh seorang sarjana Amerika Robert Hyman pada tahun
1950-an. Menurut Hyman, sosialisasi politik adalah suatu proses penyerapan
nilai dari lingkungan sistem politik ataupun masyarakat terhadap individu atau
terhadap masyarakat secara keseluruhan. Konsep ini muncul ketika para ilmuwan
politik menyadari bahwa pewarisan nilai dan kepentingan serta prilaku politik
selalu terjadi dan merupakan satu proses yang penting artinya dalam kehidupan
politik. Kaitan antara sosialisasi politik dan sistem politik dijelaskan oleh
David Easton dan Janck Dennis. Keduanya mengemukakan bahwa tujuan sosialisasi
politik adalah untuk memantapkan sistem politik itu sendiri. Dengan diserapnya
nilai-nilai politik atau orientasi-orientasi politik dari suatu sistem politik,
maka diharapkan bahwa warganegara mempunyai seperangkat pengetahuan atau
seperangkat nilai yang diperlukan untuk mendukung terpeliharanya sistem politik
.
Sosialisasi politik merupakan satu
konsep yang menentukan prilaku politik masyarakat. Dalam banyak masyarakat,
pelestarian norma dan sikap politik dari satu generasi ke generasi selanjutnya
sangat penting artinya bagi tegak berdirinya satu kekuatan politik (partai).
Sosialisasi yang baik dianggap dapat meningkatkan stabilitas politik. Proses
sosialisasi politik ini dapat terjadi karena pendidikan politik yang sering
diadakan.
Secara umum, sosialisasi melalui
tiga buah proses, yaitu kognitif, afektif, dan evaluatif. Kognitif adalah
proses seseorang memperoleh pengetahuan. Sedangkan ketika pikiran seseorang
terpengaruhi oleh pengetahuan yang diperolehnya merupakan penjelasan dari
afektif. Sedangkan ketika telah memasuki proses penilaian maka telah berada
pada proses yang terakhir, yaitu evaluatif.
2.
Mekanisme Sosialisasi Budaya Politik
Sosialisasi budaya politik dilakukan
melalui sarana atau agen sosialisasi politik. Sehubungan dengan sarana atau
agen sosialisasi politik, terdapat 6 macam sarana (agen) sosialisasi politik
sebagai berikut:
1. Keluarga
Keluarga memiliki peranan strategis
dalam sosialisasi politik. Hal ini karena keluarga memiliki peranan yang sangat
dominan dalam pembentukan elemem-elemen kepribadian dasar, sikap-sikap serta
nilai-nilai sosial seorang anak.
2.
Kelompok pertemanan
Menjadi sangat penting di dalam sosialisasi politik, karena
hal-hal sebagai berikut:
1. Akses yang sangat ekstensif dari
kelompok pertemanan terhadap anggota mereka.
2. Hubungan-hubungan pribadi yang
secara emosional berkembang di dalamnya.
Dalam kelompok pertemanan, anak-anak
sangat mengutamakan pengalaman bersama dan ambung rasa.
3. Sekolah
Sekolah memainkan peranannya sebagai
agen sosialisasi politik melalui kurikulum pengajaran formal, berbagai kegiatan
ritual sekolah, dan kegiatan-kegiatan guru.
4. Pekerjaan
Organisasi-organisasi yang dibentuk
atas dasar pekerjaan, dapat berfungsi sebagai saluran informasi tentang hal-hal
yang menyangkut masalah politik dengan jelas dan dapat pula memberikan
pengalaman sosialisasi yang cukup mendalam bagi individu-individu yang terlibat
di dalamnya.
5. Media Massa
Melalui media massa, masyarakat
dapat memperoleh informasi-informasi politik. Peristiwa-peristiwa yang terjadi
dipanggung politik dengan cepat diketahui oleh masyarakat melalui media massa,
demikian pula, secara langsung maupun tidak langsung media massa merupakan
sarana yang kuat untuk membentuk sikap-sikap dan keyakinan-keyakinan politik.
6. Kontak-kontak
politik langsung
Kontak politik langsung itu misalnya
bertemu dengan pejabat daerah, petinggi partai, polisi, pegawai, dan
penyelenggara negara lainnya. Pertemuan atau pengalaman berhubungan dengan
seorang pejabat politik bisa mempengaruhi pandangannya mengenai politik.
3.
Fungsi Dan
Peranan Partai Politik
1.
Fungsi Representasi
Representasi kadang dilihat sebagai fungsi utama sebuah partai politik. Representasi menunjukkan kapasitas partai untuk merespon dan mengartikulasikan pandangan-pandangan baik pandangan para anggota maupun para pemilihnya. Dalam bahasa teori sistem, partai politik adalah alat “pemasok” utama yang memastikan bahwa pemerintah akan melaksanakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.
Jelasnya, ini adalah fungsi untuk dilaksanakan sebaik-baiknya di dalam suatu sistem terbuka dan kompetitif yang memaksa partai untuk merespon pilihan-pilihan rakyat. Teoritisi Pilihan-rasional, semisal Anthony Downs (1957) menjelaskan proses ini dengan menyarankan bahwa pasar politik paralel dengan pasar ekonomi, di dalam mana para politisi bertindak yang intinya sebagai wiraswastawan yang memburu suara, berarti bahwa partai bertindak seperti berbisnis.
Kekuasaan, dengan demikian, utamanya terletak pada konsumennya, yakni para pemilih. Tetapi “model ekonomi” ini mendapatkan kritikan dengan dasar bahwa partai itu tidak semata-mata mencari suara tetapi juga “membentuk” atau memobilisasi pendapat umum sebagaimana dia meresponnya, dan bahwa citra para pemilih sebagai orang yang sangat tahu, rasional, dan seperti konsumen yang berorientasi masalah (isu) patut dipertanyakan, dan bahwa bentangan pilihan para pemilih (atau elektorat) seringkali sempit.
Representasi kadang dilihat sebagai fungsi utama sebuah partai politik. Representasi menunjukkan kapasitas partai untuk merespon dan mengartikulasikan pandangan-pandangan baik pandangan para anggota maupun para pemilihnya. Dalam bahasa teori sistem, partai politik adalah alat “pemasok” utama yang memastikan bahwa pemerintah akan melaksanakan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat luas.
Jelasnya, ini adalah fungsi untuk dilaksanakan sebaik-baiknya di dalam suatu sistem terbuka dan kompetitif yang memaksa partai untuk merespon pilihan-pilihan rakyat. Teoritisi Pilihan-rasional, semisal Anthony Downs (1957) menjelaskan proses ini dengan menyarankan bahwa pasar politik paralel dengan pasar ekonomi, di dalam mana para politisi bertindak yang intinya sebagai wiraswastawan yang memburu suara, berarti bahwa partai bertindak seperti berbisnis.
Kekuasaan, dengan demikian, utamanya terletak pada konsumennya, yakni para pemilih. Tetapi “model ekonomi” ini mendapatkan kritikan dengan dasar bahwa partai itu tidak semata-mata mencari suara tetapi juga “membentuk” atau memobilisasi pendapat umum sebagaimana dia meresponnya, dan bahwa citra para pemilih sebagai orang yang sangat tahu, rasional, dan seperti konsumen yang berorientasi masalah (isu) patut dipertanyakan, dan bahwa bentangan pilihan para pemilih (atau elektorat) seringkali sempit.
2.
Pembentukan Elit dan Rekrutmen
Partai-partai politik dalam semua jenisnya bertanggung jawab menyediakan bagi negara para pemimpin politiknya. Salah satu kekecualian yang jarang ada dalam aturan ini adalah Jenderal de Gaulle, yang menawarkan dirinya untuk memimpin Prancis tahun 1944 sebagai seorang “juru selamat” yang berada di atas semua perbedaan partai-partai. Partai seperti Union for the New Republic (UNR) adalah ciptaannya.
Lebih lazim lagi, politisi mendapatkan jabatan dengan memanfaatkan kedudukan di partainya; kontestan dalam pemilihan presiden biasanya pemimpin puncak partai, sementara di dalam sistem parlementer pemimpin partai terbesar di majelis biasanya menjadi perdana menteri. Kabinet dan pos-pos kementerian lainnya biasanya diisi oleh figur-figur senior partai, meskipun kekecualian dapat ditemukan di dalam sistem presidensial di Amerika Serikat yang dapat menunjuk menteri-menteri dari tokoh-tokoh non-partai.
Di sebagian besar kasus, partai-partai dengan demikian menyediakan basis pelatihan dan pengalaman politik bagi para politisi, melengkapi mereka dengan ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman, dan menawari mereka sejumlah bentuk struktur karir, kecuali orang yang hanya mengharapkan keberuntungan dari partai. Di sisi lain, monopoli partai di dalam pemerintahan mendapatkan kritikan karena para pemimpin politiknya diambil dari tempat yang sangat sempit: tokoh-tokoh senior partai besar. Tetapi, di Amerika Serikat sifat monopoli itu sangat berkurang karena adanya penggunaan luas dari pemilihan di tingat primary, yang mengurangi kendali partai dalam menyeleksi dan menominasikan kandidatnya.
Partai-partai politik dalam semua jenisnya bertanggung jawab menyediakan bagi negara para pemimpin politiknya. Salah satu kekecualian yang jarang ada dalam aturan ini adalah Jenderal de Gaulle, yang menawarkan dirinya untuk memimpin Prancis tahun 1944 sebagai seorang “juru selamat” yang berada di atas semua perbedaan partai-partai. Partai seperti Union for the New Republic (UNR) adalah ciptaannya.
Lebih lazim lagi, politisi mendapatkan jabatan dengan memanfaatkan kedudukan di partainya; kontestan dalam pemilihan presiden biasanya pemimpin puncak partai, sementara di dalam sistem parlementer pemimpin partai terbesar di majelis biasanya menjadi perdana menteri. Kabinet dan pos-pos kementerian lainnya biasanya diisi oleh figur-figur senior partai, meskipun kekecualian dapat ditemukan di dalam sistem presidensial di Amerika Serikat yang dapat menunjuk menteri-menteri dari tokoh-tokoh non-partai.
Di sebagian besar kasus, partai-partai dengan demikian menyediakan basis pelatihan dan pengalaman politik bagi para politisi, melengkapi mereka dengan ketrampilan, pengetahuan, dan pengalaman, dan menawari mereka sejumlah bentuk struktur karir, kecuali orang yang hanya mengharapkan keberuntungan dari partai. Di sisi lain, monopoli partai di dalam pemerintahan mendapatkan kritikan karena para pemimpin politiknya diambil dari tempat yang sangat sempit: tokoh-tokoh senior partai besar. Tetapi, di Amerika Serikat sifat monopoli itu sangat berkurang karena adanya penggunaan luas dari pemilihan di tingat primary, yang mengurangi kendali partai dalam menyeleksi dan menominasikan kandidatnya.
3.
Perumusan Tujuan
Partai-partai politik secara tradisional merupakan cara melalui mana masyarakat menata tujuan-tujuan kolektif dan, di beberapa kasus, memastikan bahwa hal itu dilaksanakan. Partai-partai memainkan peran ini sebab di dalam proses pemerolehan kekuasaan, mereka merumuskan program pemerintah (melalui konperensi, konvensi, manifesto pemilihan umum, dan sebagainya) dengan suatu pandangan untuk menarik dukungan rakyat.
Hal ini bukan berarti bahwa partai politik adalah satu-satunya sumber inisiatif kebijakan, tetapi partai politik juga berperan mendorong rakyat untuk merumuskan tatanan koheren dari pilihan-pilihan kebijakan yang akan memberi para pemilih suatu pilihan terbaik yang realistik dan tujuan yang dapat dicapai.
Fungsi ini secara sangat jelas dibawakan oleh partai dalam sistem parlementer yang dapat mengklaim membawa amanat untuk melaksanakan kebijakannya jika terpilih untuk berkuasa. Tetapi hal itu juga bisa terjadi di dalam siste presidensial yang biasanya partai-partai non-program semisal dalam kasus partai Republik di Amerika Serikat yang menyerukan “kontrak dengan Amerika!” dalam pemilihan Kongres tahun 1994.
Namun demikian, tendensi de-ideologisasi partai catch-all dan fakta bahwa kampanye pemilihan umum semakin menekankan pada figur dan citra kandidat ketimbang kebijakan dan isu, telah secara umum mereduksi peran partai-partai sebagai perumus kebijakan. Lebih-lebih, program partai biasanya juga mengalami modifikasi oleh adanya tekanan dari rakyat sipil dan kelompok kepentingan, dan juga keadaan domestik dan internasional. Implementasi kebijakan, di sisi lain, biasanya lebih dilaksanakan oleh birokrasi ketimbang partai, kecuali di dalam sistem ekapartai (partai tunggal) seperti di negara-negara komunis ortodoks, di mana partai “berkuasa” mengawasi aparatur negara pada level mana pun.
Partai-partai politik secara tradisional merupakan cara melalui mana masyarakat menata tujuan-tujuan kolektif dan, di beberapa kasus, memastikan bahwa hal itu dilaksanakan. Partai-partai memainkan peran ini sebab di dalam proses pemerolehan kekuasaan, mereka merumuskan program pemerintah (melalui konperensi, konvensi, manifesto pemilihan umum, dan sebagainya) dengan suatu pandangan untuk menarik dukungan rakyat.
Hal ini bukan berarti bahwa partai politik adalah satu-satunya sumber inisiatif kebijakan, tetapi partai politik juga berperan mendorong rakyat untuk merumuskan tatanan koheren dari pilihan-pilihan kebijakan yang akan memberi para pemilih suatu pilihan terbaik yang realistik dan tujuan yang dapat dicapai.
Fungsi ini secara sangat jelas dibawakan oleh partai dalam sistem parlementer yang dapat mengklaim membawa amanat untuk melaksanakan kebijakannya jika terpilih untuk berkuasa. Tetapi hal itu juga bisa terjadi di dalam siste presidensial yang biasanya partai-partai non-program semisal dalam kasus partai Republik di Amerika Serikat yang menyerukan “kontrak dengan Amerika!” dalam pemilihan Kongres tahun 1994.
Namun demikian, tendensi de-ideologisasi partai catch-all dan fakta bahwa kampanye pemilihan umum semakin menekankan pada figur dan citra kandidat ketimbang kebijakan dan isu, telah secara umum mereduksi peran partai-partai sebagai perumus kebijakan. Lebih-lebih, program partai biasanya juga mengalami modifikasi oleh adanya tekanan dari rakyat sipil dan kelompok kepentingan, dan juga keadaan domestik dan internasional. Implementasi kebijakan, di sisi lain, biasanya lebih dilaksanakan oleh birokrasi ketimbang partai, kecuali di dalam sistem ekapartai (partai tunggal) seperti di negara-negara komunis ortodoks, di mana partai “berkuasa” mengawasi aparatur negara pada level mana pun.
4.
Artikulasi dan Agregasi Kepentingan
Dalam proses pengembangan tujuan-tujuan kolektif, partai-partai juga membantu mengartikulasikan dan mengagregasikan berbagai kepentingan masyarakat. Memang, partai sering berkembang sebagai kendaraan melalui mana kelompok-kelompok bisnis, buruh, agama, etnik, atau kelompok lainnya, memperluas atau mempertahankan beragam kepentingannya.
Contohnya, Partai Buruh di Inggris, diciptakan oleh gerakan serikat dagang untuk tujuan mendapatkan representasi politik klas pekerja. Partai lain secara efektif memiliki kemampuan untuk merekrut kepentingan dan kelompok tertentu untuk memperluas basis pemilihnya, sebagaimana yang dilakukan partai-partai di Amerika Serikat di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 kepada kelompok-kelompok imigran.
Fakta bahwa partai-partai nasional sedemikian mengartikulasikan tuntutan dari beragam kekuatan memaksa partai-partai itu untuk mengagregasikan kepentingan ini dengan membawanya ke dalam kesatuan kepentingan yang koheren dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Partai-partai konstitusional secara jelas dipaksa untuk melakukan hal ini di bawah tekanan kompetisi pemilihan umum, tetapi bahkan partai-partai monopolistik pun mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan melalui hubungan dekatnya dengan negara dan ekonomi, khususnya di dalam sistem ekonomi yang terencana secara terpusat.
Tetapi, bahkan di dalam sistem partai kompetitif pun tidak semua kepentingan diartikulasikan dan apalagi diagregasikan. Kelompok-kelompok kecil, yang relatif miskin dan secara politik tak terorganisir menjadi sangat rentan untuk dikucilkan dari proses artikulasi kepentingan.
Dalam proses pengembangan tujuan-tujuan kolektif, partai-partai juga membantu mengartikulasikan dan mengagregasikan berbagai kepentingan masyarakat. Memang, partai sering berkembang sebagai kendaraan melalui mana kelompok-kelompok bisnis, buruh, agama, etnik, atau kelompok lainnya, memperluas atau mempertahankan beragam kepentingannya.
Contohnya, Partai Buruh di Inggris, diciptakan oleh gerakan serikat dagang untuk tujuan mendapatkan representasi politik klas pekerja. Partai lain secara efektif memiliki kemampuan untuk merekrut kepentingan dan kelompok tertentu untuk memperluas basis pemilihnya, sebagaimana yang dilakukan partai-partai di Amerika Serikat di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 kepada kelompok-kelompok imigran.
Fakta bahwa partai-partai nasional sedemikian mengartikulasikan tuntutan dari beragam kekuatan memaksa partai-partai itu untuk mengagregasikan kepentingan ini dengan membawanya ke dalam kesatuan kepentingan yang koheren dan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang berlawanan. Partai-partai konstitusional secara jelas dipaksa untuk melakukan hal ini di bawah tekanan kompetisi pemilihan umum, tetapi bahkan partai-partai monopolistik pun mengartikulasikan dan mengagregasikan kepentingan melalui hubungan dekatnya dengan negara dan ekonomi, khususnya di dalam sistem ekonomi yang terencana secara terpusat.
Tetapi, bahkan di dalam sistem partai kompetitif pun tidak semua kepentingan diartikulasikan dan apalagi diagregasikan. Kelompok-kelompok kecil, yang relatif miskin dan secara politik tak terorganisir menjadi sangat rentan untuk dikucilkan dari proses artikulasi kepentingan.
5.
Sosialisasi dan Mobilisasi
Melalui debat dan diskusi internal, dan juga berkampanye serta berkompetisi dalam pemilihan umum, partai-partai menjadi agen penting pendidikan dan sosialisasi politik. Isu-isu yang dipilih oleh partai untuk memusatkan perhatian pada agenda politik tertentu, dan tata nilai serta sikap yang ditunjukkannya menjadi bagian dari budaya politik yang lebih luas. Dalam kasus partai monopolistik, propaganda ideologi “resmi” (misal, Marxisme-Leninisme, Sosialisme Nasional, atau seadar gagasan-gagasan pemimpin karismatik) secara sadar diakui sebagai fungsi yang sentral, jika bukan fungsi utama.
Partai-partai utama dalam sistem kompetitif memainkan peran yang tak kalah pentingnya dalam mendorong kelompok-kelompok untuk bermain dalam koridor aturan main demokrasi, dengan demikian mengerahkan dukungan bagi rezim itu sendiri. Contohnya, kebangkitan partai-partai sosialis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan cara yang penting untuk mengintegrasikan klas pekerja ke dalam masyarakat industri.
Namun demikian, kapasitas partai untuk mobilisasi dan sosialisasi kemudian diragukan karena terdapat bukti-bukti di banyak negara adanya para partisan yang keluar dari partai dan semakin tidak menariknya partai-partai pro-sistem konvensional. Masalah yag disandang oleh partai-partai adalah, sampai batas tertentu, mereka sendiri korup, sehingga membuatnya kurang efektif dalam meraih simpati dan gagal menarik perhatian dan perasaan para partisan.
Melalui debat dan diskusi internal, dan juga berkampanye serta berkompetisi dalam pemilihan umum, partai-partai menjadi agen penting pendidikan dan sosialisasi politik. Isu-isu yang dipilih oleh partai untuk memusatkan perhatian pada agenda politik tertentu, dan tata nilai serta sikap yang ditunjukkannya menjadi bagian dari budaya politik yang lebih luas. Dalam kasus partai monopolistik, propaganda ideologi “resmi” (misal, Marxisme-Leninisme, Sosialisme Nasional, atau seadar gagasan-gagasan pemimpin karismatik) secara sadar diakui sebagai fungsi yang sentral, jika bukan fungsi utama.
Partai-partai utama dalam sistem kompetitif memainkan peran yang tak kalah pentingnya dalam mendorong kelompok-kelompok untuk bermain dalam koridor aturan main demokrasi, dengan demikian mengerahkan dukungan bagi rezim itu sendiri. Contohnya, kebangkitan partai-partai sosialis di akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 merupakan cara yang penting untuk mengintegrasikan klas pekerja ke dalam masyarakat industri.
Namun demikian, kapasitas partai untuk mobilisasi dan sosialisasi kemudian diragukan karena terdapat bukti-bukti di banyak negara adanya para partisan yang keluar dari partai dan semakin tidak menariknya partai-partai pro-sistem konvensional. Masalah yag disandang oleh partai-partai adalah, sampai batas tertentu, mereka sendiri korup, sehingga membuatnya kurang efektif dalam meraih simpati dan gagal menarik perhatian dan perasaan para partisan.
6.
Pengorganisasian Pemerintah
Sering dilontarkan pendapat yang menyatakan bahwa dalam masyarakat modern yang rumit akan menjadi nirpemerintahan apabila tidak ada partai politik. Pada awalnya partai membantu pembentukan pemerintahan, di dalam sistem parlementer sampai dengan yang dapat disebut sebagai “pemerintahan oleh partai.”
Partai juga memberi pemerintah sebentuk stabilitas dan keberlangsungan, khususnya jika anggota pemerintahan itu diambil dari satu partai dan dengan demikian dipersatukan oleh simpati dan keterikatan bersama. Bahkan jika pemerintah itu dibentuk dari suatu koalisi partai-partai itupun akan membantu persatuan dan persetujuan dari pihak-pihak yang masing-masing berbeda prioritasnya.
Lebih jauh lagi, partai-partai memberi fasilitas bagi kerja sama antara dua cabang utama pemerintahan, yakni majelis (dewan) dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, hal ini secara efektif dijamin oleh fakta bahwa pemerintah dibentuk dari partai atau partai-partai yang memiliki kursi mayoritas di majelis (dewan). Tetapi bahkan di dalam sistem presidensial pun, kepala eksekutif dapat memberikan sebentuk pengaruh, jika bukan kendali, melalui daya tarik kebersatuan partai.
Akhirnya, partai-partai menyediakan, setidaknya di dalam sistem yang kompetitif, sumber vital dari oposisi dan kritik, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Dan juga dengan memperluas debat politik dan mendidik para pemilih, hal ini membantu memastikan bahwa kebijakan pemerintah akan lebih dapat diawasi dengan baik dan dengan demikian dapat dilaksanakan dengan baik pula.
Sering dilontarkan pendapat yang menyatakan bahwa dalam masyarakat modern yang rumit akan menjadi nirpemerintahan apabila tidak ada partai politik. Pada awalnya partai membantu pembentukan pemerintahan, di dalam sistem parlementer sampai dengan yang dapat disebut sebagai “pemerintahan oleh partai.”
Partai juga memberi pemerintah sebentuk stabilitas dan keberlangsungan, khususnya jika anggota pemerintahan itu diambil dari satu partai dan dengan demikian dipersatukan oleh simpati dan keterikatan bersama. Bahkan jika pemerintah itu dibentuk dari suatu koalisi partai-partai itupun akan membantu persatuan dan persetujuan dari pihak-pihak yang masing-masing berbeda prioritasnya.
Lebih jauh lagi, partai-partai memberi fasilitas bagi kerja sama antara dua cabang utama pemerintahan, yakni majelis (dewan) dan eksekutif. Dalam sistem parlementer, hal ini secara efektif dijamin oleh fakta bahwa pemerintah dibentuk dari partai atau partai-partai yang memiliki kursi mayoritas di majelis (dewan). Tetapi bahkan di dalam sistem presidensial pun, kepala eksekutif dapat memberikan sebentuk pengaruh, jika bukan kendali, melalui daya tarik kebersatuan partai.
Akhirnya, partai-partai menyediakan, setidaknya di dalam sistem yang kompetitif, sumber vital dari oposisi dan kritik, baik di dalam maupun di luar pemerintah. Dan juga dengan memperluas debat politik dan mendidik para pemilih, hal ini membantu memastikan bahwa kebijakan pemerintah akan lebih dapat diawasi dengan baik dan dengan demikian dapat dilaksanakan dengan baik pula.
4.
Budaya Partisipan dan Bentuk - Bentuk Budaya Politik Partisipan
Budaya
partisipan yaitu budaya dimana masyarakat sangat aktif dalam kehidupan politik,
dan masyarakat yang bersangkutan sudah relatif maju baik sosial maupun ekonomi,
tetapi masih bersifat pasif.
Contoh budaya politik partisipan ini antara lain adalah peranserta masyarakat dalam pengembangan budaya politik yang sesuai dengan tata nilai budaya bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan nyata tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, melainkan terdapat variasi campuran di antara tipe-tipe partisipan, pariokal atau subyek, ketiganya menurut para ahli tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
Contoh budaya politik partisipan ini antara lain adalah peranserta masyarakat dalam pengembangan budaya politik yang sesuai dengan tata nilai budaya bangsa Indonesia.
Dalam kehidupan nyata tidak ada satupun negara yang memiliki budaya politik murni partisipan, melainkan terdapat variasi campuran di antara tipe-tipe partisipan, pariokal atau subyek, ketiganya menurut para ahli tervariasi ke dalam tiga bentuk budaya politik, yaitu :
a. Budaya politik subyek-parokial (the parochial- subject culture)
b. Budaya politik subyek-partisipan (the subject-participant culture)
c. Budaya politik parokial-partisipan (the parochial-participant culture)
5. Budaya Politik Yang Bertentangan Dengan Semangat Pembangunan Politik Bangsa
Suatu pemerintahan dengan budaya politik yang bertentangan dengan semangat
pembangunan politik bangsa yang transparan (terbuka) apabila dalam
penyelenggaraan sistem politik pemerintahannya tidak terdapat kebebasan aliran
informasi dalam berbagai proses kelembagaan sehigga tidak mudah di akses oleh
masyarakat sebagai warga bangsa yang membutuhkan.
Budaya politik feodalisme yang terjadi adalah merupakan sebuah sistem
pemerintahan dimana seorang pemimpin bangsawan memiliki anak buah banyak yang
juga masih dari kalangan bangsawan,tetapi lebih rendah mereka biasa
disebut vazal. Dalam penggunaan bahasa sekalipun, sering kalli digunakan
untuk menunjuk para perilaku-perilaku negatif yang mirip dengan perilaku para
penguasa yang zalim,seperti kolot,selalu ingin di hormati atau bertahan pada
nilai-nilai lama yang sudah banyak di tinggalkan,artinya sudah banyak tidak
sesuai lagi dengan pengertian politik yang sesungguhnya.
Realitas budaya politik masih menjadi kendala bagi proses pendidikan politik
karena masih di warnai oleh kuatnya pengaruh nilai-nilai
feodalisme,primordialisme,dan paternalisme berlebihan dalam kehidupan sosial
kemasyarakatan. Kondisi itu di perparah dengan makin sulitnya mencari
figur-figur yang dapat diteladani dalam kepemimpinan nasional. Keadaan ini di
rasakan mempersuli mahasiswa dan kaum yang terpelajar dalam mengoperasionalkan
konsep dan nilai-nilai yang terkandung dalam khasanah budaya bangsa.
Banyak kalangan berpendapat, di era Orde Reformasi ini,korupsi,kolusi,dan nepotisme(KKN)
tetap hidup dan bahkan makin berkembang(wajah baru KKN). Pemilihan pejabat
publik, baik di pemerintahan maupun BUMN, masih menggunakan cara lama; siapa
dekat dia dapat. Pertimbangan profesional buakn acuan utama. Akibat KKN,harta
republik telah menjadi “barang jarahan” yang hanya menguntungkan sedikit orang.
Tindakan KKN memiliki kecendrungan
“terstruktur” dalam kehidupan masyarakat politik. Tentang perubahan struktur
ini, para ilmuan sosial memasuki perdebatan yang melelahkan,bahkan hampir tidak
dapat diselesaikan. Dari kacamata strukturalisme,perilaku individu akan
ditentukan oleh kondisi strukturalnya (structure conduct performance).
Sebaliknya dari kacamata individualisme, struktur adalah hasil perilaku para
aktor politik. Titik tengahnya adalah menganggap bahwa aksi para individu dan
struktur adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan (dualitas). Aksi individu
hanya bisa dipahami dari dan sebaliknya struktur hanya biasa dijelaskan dari
aksi para individunya (Giddens, 1984). Dalam kacamata strukturasi ini, tiap
individu memiliki kebebasan untuk melakukan aksi, tetapi dalam kerangka “aturan
main” tertentu yang memengaruhinya. Dalam pengertian neoinstitusionalisme, ada
“roh” yang memengaruhi cara pandang (sense making) para individu yang
akan menghalangi (contraining) atau mendorong (enabling) tindakan
tertentu. Weick (1979) menyebut lingkungan sosial sebagai sesuatu yang
mendorong (enactment) aksi individu.
Suatu hal
yang patut kita sayangkan adalah hingga saat ini “belum pernah” atau “belum
ada” contoh yang baik tentang penegakan perilaku KKN. Masih banyak birokrat dan
pejabat tinggi negara yang terang-terangan melakukan praktik ini. Dengan
demikian, tidak mengherankan apabila semua orang berlomba-lomba untuk melakukan
hal yang tampaknya bersifat profesional.
Ada beberapa alasan yang
melatarbelakangi orang berperilaku tidak mau melibatkan diri dalam politik
(partisipan). Robert dahl menyebutkan alasan sebagai berikut.
1. Orang
mungkin kurang tertarik dalam politik jika mereka memandang rendah terhadap
segala manfaat yang diharapkan dari keterlibatan politik, dibandingkan dengan
manfaat yang akan diperleh dari berbagai aktivitas lainnya.
2.
Orang merasa tidak melihat adanya perbedaan yang tegas dengan keadaan
sebelumnya, sehingga apa yang dilakukan seorang tersebut tidaklah menjadi
persoalan.
3.
Seseorang cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa
tidak ada masalah terhadap hal yang dilakukan, karena ia tidak dapat
mengubah dengan jelas hasilnya.
4. Seseorang
cenderung kurang terlibat dalam politik jika merasa bahwa hasil-hasilnya
relatif akan memuaskan orang tersebut sekalipun ia tidak berperan di dalamnya.
5.
Jika pengetahuan seseorang tentang politik tersebut terlalu terbatas untuk
dapat menjadi efektif.
6. Semakin besar kendala
yang dihadapi dalam perjalanan hidup, semakin kecil kemungkinan bagi seseorang
untuk terlibat dalam politik.
6.
Contoh Budaya
Politik Partisipan Dalam Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
·
Kritis
Memilih Partai Politik, Anggota Parlemen(DPR/DPRD dan DPD)
Sikap kritis
dalam pemilu juga harus diarahkan pada partai politik, calon anggoya
DewanPerwakilan Rakyat Daerah, dan anggoya legislatif, mulai dari tingkat pusat
sampai dengankabupaten/kota. Sikap kritis ini sangat penting karena merekalah
yang akan mewakili rakyatIndonesia untuk memperjuangkan aspirasi politik
rakyat. Kritisme pada partai politik siarahkan pada platform partai
politik untuk memperjuagkan aspirasi dan kesejahteraan rakyat Indonesia.
Dalam sistem
proporsional terbuka, rakyatlah yang berkuasa menentukan kelayakan calinanggota
legislatif. Untuk itu, masyarakat pemilih harus melakukan seleksi dan
penyaringansecara ketat terhadap para calin tersebut, baik dari segi moral
maupun kapasitasnya. Jika terdapatcalon anggota legislatif tidak memenuhi
persyaratan moral, kewibawaan dan kejujuran(integritas), dapat dipercaya
(kredibilitas), dan memiliki kemampuan/keahlian pada umumnya(akuntabilitas
publik) maka sikap terbaik masyarakat pemilih tentunya adalah tidak
memilihcalon tersebut.
Di alam
keterbukaan dan informasi ini, rakyat tentunya dapat mengakses informasi
seluas-luasnya tentang perilaku politik seorang calin anggota legislatif
ataupun partai politik. Dengandemikian, rakyat sebenarnya dapat menentukan
secara objektif siapa dan partai apa yang benar- benar memperjuangkan
kepentingan rakyat ataukah hanya sekadar menjual janji-janji
muluk belaka.
·
Kritis
Memilih Presiden dan Wakil Presiden
Kritisme pada pemilihan presiden dan wakil presiden lebih ditekankan pada
kualitas diricalon yang akan dipilih tersebut, baik dari segi visi kenegaraan,
kredibilitas moral, amanah,kapabilitas, maupun kebersihan dari praktik korupsi,
kolusi, dan nepotisme. Okeh karena itu,masyarakat pemilih perlu mengetahui
terlebih dahulu track record calon presiden dan wakil presiden.
Masyarakat pemilih perlu mengikuti perkembangan informasi melalui media
massadan berbagai sumber informasi lain uang akurat untuk melakukan pemeriksaam
kembali (crosscheck ) tentang kredibilitas moral dan kapabilitas calon
presiden maupun wakil presiden.
·
Kritisme
dalam Mewujudka Pemilu Luber dan Jurdil
Pemilu yang
Luber dan Jurdil merupakan harapan dari segenap rakyat Indonesia,
sekaligusmerupakan perwujudan dari pemilu yang demokratis. Oleh karena itu,
sikapa kritis dari pemilihdan warga Idonesia sengat diperlukan untuk mewujudkan
pemilu yang Luber dan Jurdil. Untuk itu diperlukan persyaratan minimal, di
antaranya sebagai berikut.
a. Peraturan perundangan yang mengatur
pemilu harus tidak tidak membuka peluang bagi terjadinyatindak kecurangan
ataupun menguntungkan satu atau beberapa pihak tertentu.
b. Peraturan pelaksanaan pemilu yang
memuat petunjuk teknis dan petunjuk pelaksanaan pemiluharus tidak membuka
peluang bagi terjadinya kecurangan ataupun menguntungkan satu
atau beberapa pihak tertentu.
c. Badan/lembaga penyelenggara maupun
panitia pemilu baik di tingkat pusat maupun daerah harus bersifat mandiri
dan independen.
d. Partai politik peserta pemilu
memiliki kesiapan yang memadai untuk terlibat dalam penyelenggaraan
pemili, khususnya yang berkaitan dengan kepanitiaan pemilu serta
kemampuanmempersiapkan saksi-saksi di tempat pemungutah suara,
e. Lembaga/organisasi/jaringan pemamtauan
pemilu harus terlibat aktif dalam suatu proses dantahapan pemilu di semua
tingkatan di seluruh wilayah pemilihan untuk memantau perkembangan
penyelenggaraan pemilu.
f. Anggota masyarakat luas, baik secara
perorangan dan kelompok maupun yang terhimpun dalamorganisasi-organisasi
kemasyarakatan harus aktif dalam memantau setiap
perkembangan penyelenggaraan pemilu daerah masing-masing.
g. Insan pers dan media massa harus
memberikan perhatian secara khusus pada setiap penyelenggaraan pemilu.
h. Memupuk kesadaran politik setiap
warga negara supaya semakin sadar akan hak politiknya dalam pemilu.
7. Contoh Perilaku Berperan Aktif Dalam Politik Yang Berkembang Di Masyarakat
Komunitas pelajar seharusnya memilliki peran besar untuk melakukan perubahan sosial politik yang lebih
baik. Melalui pemilu, pelajar bisa menjadikannya
sebagai momentun untuk mendorong perubahan sosial, politik,ekonomi, budaya, dan
lain-lain kearah yang lebih baik dengan melalui pemerintahan yang dipilih
melalui pemilu. Selain itu, pemilu harus juga menjadikan momentum yang damai
dan beradap. Semua ini dimaksudkan sebagai
upaya melakukan pendidikan politik rakyat yang lebih luas, karena dengan
demikian pelajar sebagai komunitas terpelajar dan terdidik bisa menjadisalah satu rujukan untuk menentukan pilihan
pemilu secara arif, bijaksan, krisis, dan rasional. Berkaitan dengan kenyataan
tersebut, maka keberadaan pelajar sebagai pemilih pemilu perlu mengambil sikap
dan langkah-langkah yang positif dan konstruktif dalam penyelenggaraan
pemilihan umum, antara lain sebagai berikut.
Aktif Tanpa
Kekerasan Dalam Pemilihan Umum
Pelajar hendaknya berpartisipasi secara aktif dalam pemilihan umum,
tetapihindarkan diri dari kekerasan dan anarkisme massa, ciptakan pemilu
yangdemokratis, damai, dan beradap.
Pemilhan Umum
Sebagai Gerakan Anti Korupsi
Pelajar sebagai pemilih pemula aktif dan selektif dalam memilih
calonpemimpin nasional dan wakil-wakil yang bersih, agar kelak
dalammelaksanakan pemerintahan tidak melakukan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Anti Terhadap Money Politics
Money
Politics merupakan salah satu bentuk
kecurangan dalam pemilu.Pelajar sebagai pemilih pemula hendaknya menggunakan
hati nurani danakal pikiran yang sehat ketika menggunakan hak pilihnya di dalam
memilih pemilu.
Tidak Mudah
Dieksploitasi Pemilu Merupakan Salah Satu Media Pembelajaran Politik Bagi
Terbentuknya Komunikasi Politik Yang Demokratis Dimasa Mendatang.
Oleh karena itu,pelajar sebagai pemilih pemula jangan mudah dieksploitasi
dalam pemiluuntuk kepentingan sesaat kelompok tertentu.
Tidak Apatis Komunitas Pelajar Yang Memiliki Jumlah Signifikan Jangan Bersikapa
Apatisdalam Pemilu.
Gunakan hak pilih dengan menggunakan hati nurani dan akalpikiran yang sehat
ketika memilh wakil-wakil raktyat yang duduk diperlement, presiden dan wakil
presiden, partai politik sebagai kontestandalam pemilu, dan sebagainya.
8.
Pengertian Budaya Demokrasi
Demokrasi berasal dari bahasa
Yunani, yaitu kata demos artinya rakyat dan cratos/kratein
artinya pemerintahan/berkuasa. Pemerintahan demokrasi yang kokoh adalah
pemerintahan yang sesuai dengan pandangan hidup, kepribadian, dan falsafah
bangsanya. Pada masa Yunani Kunosudah berkembang demokrasi langsung,
artinya seluruh rakyat terlibat secara langsung dalam masalah kenegaraan. Hal
ini terjadi karena wilayah negara sempit dan penduduknya sedikit. Pada
masa modern, demokrasi langsung tidak dapat dijalankan karena wilayah negara
cukup luas, jumlah penduduk banyak, rakyat melalui suatu lembaga perwakilan
(badan-badan perwakilan rakyat) dapat menyalurkan aspirasinya dalam kenegaraan
atau serimng disebut demokrasi perwakilan.
1. Budaya Demokrasi, adalah pola pikir, pola sikap, dan
pola tindak warga masyarakat yang sejalan dengan nilai-nilai kemerdekaan,
persamaan dan persaudaraan antar manusia yang berintikan kerjasama, saling
percaya, menghargai keanekaragaman, toleransi, kesamaderajatan, dan kompromi.
2. International Commision of Jurist (ICJ), demokrasi adalah suatu
bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik diselenggarakan oleh
wn melalui wakil-wakil yg dipilih oleh mereka dan bertanggung jawab kepada
mereka melalui suatu proses pemilihan yg bebas.
3. Abraham Lincoln, demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh
rakyat dan untuk rakyat.
4. Giovanni Sartori, memandang demokrasi sebagai suatu sistem di mana tak seorangpun dapat memilih dirinya sendiri, tak
seorangpun dapat menginvestasikan dia dgn kekuasaannya, kemudian tidak dapat
juga untuk merebut dari kekuasaan lain dengan cara-cara tak terbatas dan tanpa
syarat.
5. Ensiklopedi Populer Politik Pembangunan Panca-sila, demokrasi adalah suatu
pola pemerintahan dalam mana kekuasaan untuk memerintah berasal dari mereka
yang diperintah.
9.
Macam-Macam Demokrasi
1. Dari
segi idiologi, demokrasi ada 2 macam :
a. Demokrasi konstitusional (demokrasi
liberal), yaitu kekuasaan pemerintahan terbatas dan tidak banyak campur tangan
serta tidak bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya. Kekuasaan
dibatasi oleh konstitusi. Penganut demokrasi ini adalah Negara-negara eropa
barat, Amerika serikat, India, pPakistan, Indonesia, Filipina, Singapura.
b. Demokrasi Rakyat (Proletar) adalah
demokrasi yang berlandaskan ajaran komunisme dan marxisme. Demokrasi ini
tidak mengakui hak asasi warga negaranya. Demokrasi ini bertentangan
dengan demokrasi konstitusional. Demokrasi ini mencita-citakan kehidupan
tanpa kelas sosial dan tanpa kepemilikan pribadi. Negara adalah alat
untuk mencapai komunisme yaitu untuk kepentingan kolektifisme.
2.
Berdasarkan titik perhatiannya demokrasi ada 3 macam :
1. Demokrasi Formal ( negara-negara
liberal), demokrasi menjunjung tinggi persamaan dalam bidang politik, tanpa
upaya untuk mengurangi kesenjangan ekonomi.
2. Demokrasi material (negara-negara
komunis), menitikberatkan pada upaya-upaya menghilangkan perbedaann pada bidang
ekonomi, kurang persamaan dalam bidang politik bahkan kadang dihilangkan.
3. Demokrasi gabungan (negara-negara
nonblok), demokrasi yang menghilangkan kesenjangan ekonomi dan sosial,
persamaan dibidang politik, hukum.
Pengelompokan Demokrasi :
Demokrasi ada 2 macam :
1. Konstitusional a. Negara Liberalis dan Komunis/Sosialis
b. Indonesia : 1. Demokrasi Liberal
2. Demokrasi Terpimpin
3. Demokrasi Pancasila
2. Komunis/Marxisme atau Demokrasi
Proletar
10.
Prinsip-Prinsip Demokrasi
Banyak negara mengaku sebagai negara
demokrasi, tapi belum tentu menerapkan prinsip demokrasi dengan baik dan
benar. Prinsip-prinsip demokrasi antar lain :
1. Adanya jaminan hak asasi manusianya,
merupakan hak dasar yang melekat sejak lahir merupakan anugerah Tuhan YME yang
tidak boleh dirampas oleh siapapu termasuk oleh negara.
2. Persamaan kedudukan di depan
hukum, agar tidak tewrjadi diskriminasi dan ketidakadilan, siapapun
melanggar hukum harus mendapat sanksi menurut hukum yang berlaku, dan
sebaliknya.
3. Pengakuan terhadap hak-hak politik,
seperti berkumpul, beroposisi, berserikat dan mengeluarkanpendapat.
4. Pengawasan atau kontrol rakyat
terhadap pemerintah, melalui demokrasi itu sendiri.
5. Pemerintahan berdasar konstitusi,
agar pemerintgah tidak menyalahgunakan kekuasaan seweang-wenang terhadap
rakyat.
6. Adanya saran atau kritik rakyat
terhadap kinerja pemerintah melalui media massa sebagai alat penyalur aspirasi
rakyat.
7. Pemilihan umum yang bebas dan jujur
serta adil.
8. Adanya kedaulatan rakyat.
11.
Prinsip-Prinsip Budaya Demokrasi
a. Kekuasaan suatu negara sebenarnya
berada di tangan rakyat atau kedaulatan ada di tangan rakyat.
b. Masing-masing orang bebas berbicara,
mengeluarkan pendapat, beda pendapat, dan tidak ada paksaan.
Prinsip-prinsip demokrasi Pancasila
adalah :
a. Kedaulatan di tangan rakyat
b. Pengakuan dan perlindungan
terhadap hak asasi manusia
c. Pemerintahan berdasar hukuk
(konstitusi)
d. Peradilan yang bebas dan tidak
memihak
e. Pengambilan keputusan atas
musyawarah
f. Adanya partai plitik dan
organisasi sosial politik
g. Pemilu yang demkratis.
Jika ada yang kurang jelas atau ingin ditanyakan silahkan tinggalkan jejak :)
mantap... klo ada soal tugas lagi, sediakan jawabanya e,,,,
BalasHapussipp gan yg penting akses lancar
BalasHapusMakasih buat ringkasan nya..
BalasHapussama" qaqa :)
Hapuskepanjangan, capek nulisnya :D
BalasHapussp suruh,, kemarin2 kemana aja kau??
Hapusmakasih atas materi pkn nya.
BalasHapusngomong2 min k-popers ya?
aku juga, ELF